Thursday, February 23, 2006

Guru, tak mampu kubalas jasamu...

Semalam kami menghadiri acara pisah kenal dikedutaan, ada tiga orang staf kedutaan yang mengakhiri tugas di Kuala Lumpur dua diantaranya atase pendidikan dan kebudayaan dan direktur Sekolah Indonesia Kuala Lumpur.

Malam itu saya begitu terharu dengan sekelumit ucapan perpisahan yang disampaikan oleh bapak direktur SIK, bukan keluhan maupun sesuatu yang menyedihkan tapi kebanggaan seorang pendidik.Sebelumnya beliau ini bukanlah seorang kepala sekolah maupun wakil kepala sekolah melainkan seorang guru biasa dengan segenap dedikasinya mengajar anak murid .Karena keberaniannya menerima tantangan dengan menjalani segenap tes beliau berhasil menembus persaingan dalam memperebutkan jabatan sebagai direktur Sekolah Indonesia Kuala Lumpur dan berhasil menjalaninya selama tiga tahun.

Dengan jumlah murid yang mencapai 450 anak, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur sudah dipercaya oleh departemen pendidikan disini dan diperbolehkan untuk menerima siswa antar bangsa setelah menunggu dalam penantian lama sejak tahun 1969 bahkan dirjen pendidikan dan kebudayaan Malaysia mempercayakan pendidikan putrinya disekolah ini. Sekarang kalau kita membuka majalah Expat Kuala Lumpur, terlihat disana Indonesia International School mejeng bareng dengan Australia International school. Sedikit kebanggaan inilah yang akan memupus sedikit demi sedikit rasa pesimis sebagai warga indonesia.

Kebanggaan seorang pendidik adalah tulus ikhas tidak ada tendensi lain kecuali ingin mencerdaskan anak didik supaya jadi 'orang' . Ketulus ikhlasan inilah yang sangat sukar didapat dari profesi lain apapun. Seorang guru tidak akan pernah bersaing dengan muridnya, kebanggaan dia adalah keberhasilan anak orang lain yaitu anak muridnya.

Aku jadi teringat dengan guru2 SMP...ketika masa puber pertama dengan segala kenakalan, dan kecentilan yang mungkin membuat pusing bapak dan ibu guru. Seperti pak Pardjo yang sangat gigih untuk membentuk perkumpulan karawitan (gamelan) wanita.Meskipun aku dan kawan2 yang tergabung dalam grup itu 'mbeling'nya setengah mati karena selalu kabur kalo disuruh latihan, tapi pak Pardjo dengan penuh kesabaran melakukan pendekatan melalui watak kebapakannya...dan kamipun luluh dengan semangkok bakso....duuhh...!!
Maklum kerawitan sebagai kesenian asli jawa dianggap tidak keren oleh remaja pada waktu itu sehingga kami selalu belagu setiap disuruh latihan. Pak Pardjo memang tidak sia2, grup kami sebagai grup wanita satu2nya mendapat urutan 5 besar dalam lomba karawitan antar sekolah se DIY meski diurutan ke lima.

Aku juga teringat dengan guru favoritku bu Kun guru bahasa Inggris yang pandai menyanyi dan sangat saklek. Beliau berhasil memompa motivasiku dalam belajar bahasa asing yang pada masa itu bahasa Inggris baru dikenalkan pada saat dibangku kelas I SMP. Ada enam T yang harus dipunyai seorang pelajar untuk sukses, katanya. Titi (teliti), Tata (tertib), Titis (selalu kena), Tatas (tajam), Trengginas (lincah), Trampil (terampil). Kalau diresapi pengertian dan maknanya, memang itulah resep sukses seseorang.

Seperti pak Afif yang dengan ikhlas akan mengajar disekolah dipinggiran kota kecil Malang setelah masa tugas disini berakhir, pak Pardjo, Bu Kun....harapan yang dipunyai mereka hanyalah harapan sebagai orang tua dan sekaligus sebagai pendidik bagi anak2 murid. Mencetak manusia2 kecil generasi penerus yang cerdas sehingga dapat mengangkat derajad bangsa menjadi bangsa yang dihargai dan tidak dipandang sebelah mata oleh bangsa lain.Terima kasih bapak dan ibu guru....jasamu tak terkira...

Terpujilah..wahai engkau, bapak ibu guru....
Namamu akan selalu hiduuppp....dalam sanubariku....

1 comment:

Esti said...

Sama dong ikutan karawitan waktu SMP. Tapi saiki wis lali babar blas lho gimana nada-nadanya.